PENGERTIAN HADIS DAN SUNNAH ( ONTOLOGIS, EPISTOMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS ) | SUNWAR TV

PENGERTIAN HADIS DAN SUNNAH ( ONTOLOGIS, EPISTOMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS )

BAB I

PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Konstruksi atau struktur keilmuan selalu mempunyai tiga persoalan pokok yang harus diketahui dan diungkap terlebih dahulu agar eksistensi ilmu tersebut dapat diketahui secara menyeluruh. Segala sesuatu hendaknya dapat dideskripsikan secara detail agar tidak timbul kesalahpahaman atau interpretasi yang keliru terhadap sesuatu.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang menyeluruh tersebut hendaknya diketahui apa sesuatu itu, bagaimana cara mendapatkannya, dan apa nilai kegunaannya. Ketiga pertanyaan tersebut akan terjawab dengan melihat pada tiga aspek yaitu, mengenai eksistensi atau definisi merupakan ranah ontologi, mengenai cara mendapatkannya merupakan ranah epistemologi, dan mengenai nilai kegunaannya merupakan ranah aksiologi.

Dalam Ulumul hadis yang menjadi disiplin ilmu yang sedang dipelajari ini, ketiga persoalan pokok yang telah disebutkan sebelumnya akan sangat dibutuhkan untuk mengetahui persoalan-persoalan menyangkut hadis secara komprehensif untuk meminimalisir kemungkinan kesalahpahaman yang biasa timbul. Ketiga aspek ini akan digali lebih jauh melalui berbagai uraian berdasarkan literatur bacaan yang ada. Uraian-uraian tersebut akan mengantar pada penjelasan mengai tinjauan onotlogi, epistimologi, dan aksiologi hadis itu sendiri.

B.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, pokok masalah yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah Pengertian Hadis dan Sunnah. Adapun sub masalah yang akan dibahas antara lain sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah pengertian hadis dan sunnah ditinjau dari aspek Ontologi?
2.      Bagaiamanakah ulumul hadis ditinjau dari aspek Epistemologis?
3.      Bagaimanakah ulumul hadis ditinjau dari aspek aksiologis?







C.  Tujuan
Dalam makalah ini, tujuan yang akan dicapai antara lain sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian hadis dan sunnah dari aspek ontologi
2.      Untuk mengetahui ulumul hadis ditinjau dari aspek epistemologis
3.      Untuk mengetahui ulumul hadis ditinjau dari aspek aksiologis



BAB II
PEMBAHASAN


A.     Tinjauan Ontologi Hadis dan Sunnah
Tinjauan ontologi adalah metode dalam mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan definisi, pengertian, atau pembatasan mengenai sesuatu. Tinjauan ontologi mengantarkan pada terjawabnya pertanyaan “Apa yang ingin diketahui?” menyangkut pengertian hadis, sunnah, dan hal-hal lain yang menyangkut hadis dan sunnah tersebut.
1.      Pengertian Hadis dan Sunnah
Secara etimologis kata hadis berasal dari katahadasa, yahdusu, hudūsan wa hadāsah, yang berarti jadid (yang baru) sebagai lawan dari qadīm (yang lama) dan terdahulu.[1] Menurut Muhammad Mustafa Azami sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Abustani Ilyas menjelaskan bahwa kata hadis yang terdapat dalam Alquran maupun kitab-kitab hadis mempunyaibeberapa arti, antara lain sebagai berikut:[2] a) Komunikasi religious, pesan atau Alquran, b) Cerita duniawi dan kejadian alam pada umumnya, c) Cerita sejarah, dan d) Rahasia atau percakapan atau cerita yang masih hangat.
Selain itu, hadis menurut bahasa juga diartikan antara lain sebagai berikut:[3]
a.       ﺃﻠﻗﺪ ﻴﻡ   Yang baru
b.      ﺃﻠﻗﺮ ﻴﺐ  yang belum lama terjadi  ,Yang dekat
c.       ﺃﻠﺨﺑﺮ  Berita atau kabar

The word “hadith” primarily means “now”. It is used as opposed to qadim which means “old”. From this followed the use of the term for legendary, true or false, a piece of news, a tale, a story or a report.[4]

Menurut pendapat ini, hadis umumnya berarti “sekarang” yang merupakan lawan kata qadīmyang berarti “lama”.Berdasarkan arti tersebut, term hadis diartikan dongeng, benaratau salah, setiap berita, cerita, artikel, atau laporan.
Sedangkan menurut terminologi, umumnya mendefinisikan hadis sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan) dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.[5]Termasuk di dalam ungkapan ihwal (ahwāluh) atau keadaannya.Menurut Al-Hafiz ibn Hajar hadis adalah segala yang diriwayatkan di dalam kitab sejarah, perihal kelahiran, tempat yang dikunjungi dan yang bersangkut pautdengan itu, baik sebelum diangkat sebagai Rasul maupun sesudahnya.[6] Definisi ini menyamakan hadis dan sunnah karena berkaitan dengan sebelum maupun sesudah kenabian. Pengertian ini juga hampir sama mnurut ulama hadis yang meninjau Nabi saw. sebagai uswatun hasanah.
Berdasarkan pengertian sebelumnya, yang tergolong sebagai hadis secara detail sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Abdul Rauf adalah sebagai berikut:[7]
a.       Sifat-sifat Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat
b.      Perbuatan-perbuatan dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat
c.       Perbuatan para sahabat dihadapan Nabi yang dibiarkan dan tidak dicegah yang disebut taqrir
d.      Timbulnya berbagai pendapat sahabat di hadapan Nabi, lalu beliau mengungkapkan pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu pendapat sahabat
e.       Sabda Nabi yang dikeluarkan dari lisan beliau sendiri
f.       Firman Allah selain Alquran yang disampaikan oleh Nabi yang disebut hadis Qudsi
g.      Surat-surat yang dikirimkan Nabi, baik yang dikirim kepada para sahabat yang bertugas di daerah maupun yang dikirim kepada pihak-pihak di luar islam.
Sunnah dalam aspek etimologi menurut Asy-Syaukani berarti
ألطريقة ولو غير مرضية
Jalan, walaupun tidak diridhai[8]
Menurut Dr. Mustafa As-Siba’iy sunnah menurut bahasa ialah
ألطريقة محمودة كانت أومذمومة
Jalan, baik terpuji maupun tercela[9]
Sunnah juga diartikan mengalir atau berlalu dengan mudah atau dapat pula diartikan jalan atau tata cara yang mentradisi.[10]
Secara terminologi, M. Ajjaj Al-Khatib mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakteristik etik dan fisik atau sejarah, baik sebelum kenabian maupun sesudahnya.[11] Sedangkanmenurut Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy sunnah ialah suatu amalan yang dilaksanakan olen Nabi saw. secara terus menerus dan dinukilkan kepada kita dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir. Jadi Nabi saw. melaksanakan suatu amalan beserta sahabat, para sahabat melaksanakannya tabi’in dan demikian seterusnya generasi ke generasi sampai pada masa sekarang.
Ada perbedaan antara ulama menyangkut definisi sunnah disebabkan oleh cara peninjauannya. Ulama hadis meninjau dari segi pribadi Rasulullah saw. adalah pribadi teladan dan sehingga segala yang bersangkut paut dengan beliau adalah uswatun hasanah. Ulama ushul meninjau pribadi Rasulullah sebagai pengatur Undang-undang disamping Alquran yang menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang menjelaskan tentang aturan hidup. Oleh karena itu sunnah dibatasi hanya dalam hal-hal yang bersangkutan dengan hukum saja. Ulama fikih meninjau dalam seluruh aspek wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Sunnah diartikan sebagai amalan yang dianjurkan dengan konsekuensi mendapat pahala bila dikerjakan dan tidak mendapatkan nestapa bila ditinggalkan.[12]

2.      Sinonim Hadis
Dalam bahasan sebelumnya diungkapkan bahwa hadis biasanya disamakan dengan sunnah dengan melihat berbagai macam tinjauan misalnya hadis dan sunnahsama-sama disadurkan kepada Rasulullah saw. dan sama-sama mengenai perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasul. Selain disamakan dengan sunnah, hadis juga biasanya disinonimkan dengan dua istilah lain yaitu khabar dan atsar


a.       Khabar (ألخبر  )
Khabar menurut bahasa adalah warta berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang.[13] Sedangkan menurut istilah, sebagian ulama mengartikan khabar adalah aya yang datang dari Nabi saw. baik yang marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), maupun yang maqthu’ (yang disandarkan kepada Tabi’in) dengan kata lain khabar mencakup apa yang datang dari Nabi, Sahabat, dan Tabi’in.[14]
b.      Atsar  ( ألأثر  )
Atsar menurut bahasa berarti bekas atau sisa sesuatu; nukilan atau dinukilkan, sehingga doa yang dinukilkan dari Rasulullah saw. dinamakandoa ma’tsur. Menurut istilah ada perbedaan pengertian.Atsar sinonim dengan Hadis namun  menurut Ath-Thabary atsar digunakan untuk apa yang datang dari Nabi saw. Ath –Tahawi juga memasukkan yang darisahabat.Atsar tidak sama dengan hadis. Menurut fuqaha, atsar adalah perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan lain-lain. Menurut fuqaha Khurasan, Atsar adalah perkataan sahabat sedangkan khabar adalah perkataan Nabi saw. Menurut Az-Zarkasyi atsar digunakan untuk hadis mauquf  dan boleh juga digunakan untuk hadis marfu’.[15]
3.      Perbedaan Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah
Dalam hal perbedaan pandangan ulama mengenai hadis dan sunnah, masing-masing ulama memiliki argumentasi yang berbeda. Apabila ditinjau dari subjek yang mempelajarinya (ulama) maka akan terdapat perbedaan seperti ulama hadis mengatakan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. baik yang menyangkut hukum atau tidak, perkataan atau perbuatan tetap disebut hadis. Berbeda dengan ulama lain yang menganggap bahwa sunnah adalah perbuatan atau perkataan Rasulullah saw. yang terus menerus diamalkan secara kolektif dan turun menurun. Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa hadis adalah segala yang diceritakan dari Nabi saw. sedangkan sunnah adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh kaum muslim sejak dahulu baik diceritakan maupun tidak.[16]
Fazlur Rahman membedakan term ini dengan mengatakan bahwa hadis sebagai tradisi verbal dan sunnah adalah tradisi praktikal.[17] Menurut Nurcholish Madjid sunnah lebih luas daripada hadis, termasuk yang shahih karena sunnah tidak terbatas pada hadis. Pada sisi yang lain ia mengatakan bahwa pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah dan teladan beliau dalam melaksanakannya membentuk tradisi atau sunnah kenabian(al-sunnah al-Nabawiyah). Sedangkan hadis merupakan bentuk representase atau penuturan tentang apa yang dijalankan Nabi dalam praktek atau tindakan orang lain yang didiamkan beliau.[18]
Salah seorang orientalis bernama Goldziher juga membedakan hadis dan sunnah. Menurutnya, hadis merupakan laporan semata yang bersifat teoretis (verbal) sedangkan sunnah adalah laporan yang sama dan telah memperoleh kualitas normative serta menjadi prinsip praktis (practical rules). Baginya sunnah sejak semula merupakan perilaku baik dalam mengatur kehidupan secara individual maupun komunal pada komunitas Arab. Setelah Islam datang, pengertian sunnah mencakup jalan hidup dan aturan masyarakat yang berkenaan dengan keyakinan-keyakinan keagamaan Islam.[19]
Ada pula dalam pandangan M. Syuhudi Ismail, perbedaan hadis dan sunnah bisa ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya. Hadis berada di bawah sunnah sebab hadis merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi saw. walaupun sekali saja bwliau kerjakan dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja. Sedangkan sunnah merupakan suatu amaliyah yang terus menerus dilakukan oleh Nabi saw. bersama sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi berikutnya.[20]
Menurut ulama hadis, sunnah mencakup segala sesuatu dari Nabi saw. baik sebelum maupun sesudah kenabian.[21]Sedangkan ulama ushul menganggap bahwa hadismuncul setelah masa kenabian bahkan baru muncul setelah wafatnya Rasulullah guna mendapatkan dalil untuk menetapkan hukum syariat. Sunnah berlangsung pada saat Rasulullah saw. hidup, diamalkan oleh beliau dan para sahabat hingga generasi sesudahnya. Sedangkan hadis muncul setelah wafatnya beliau, dituturkan dari sahabat kepada generasi selanjutnya agar hal-hal yang mengenai Rasulullah saw. tetap tersambung kepada generasi-generasi selanjutnya.
4.      Perbedaan Hadis Nabi, Hadis Qudsi, dan Alquran
Sebelum membahas mengenai perbedaan hadis Nabi, hadis Qudsi dan Alquran hendaklah diketahui pengertian masing-masing terlebih dahulu.Pengertian hadis Nabi telah dibahas sebelumnya.Adapun hadis Qudsi secara etimologi berasal dari kata qadusa, yaqdusu, qudsan artinya suci atau bersih.Secara terminology Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadis Qudsi adalah segala hadis Nabi yang berupa ucapan yang disandarkan kepada Allah swt. Dinamai hadis Qudsi karena redaksinya oleh  Nabi saw. sendiri dan disebut qudsi karena ini suci dan bersih karena datangnya dari Zat yang Maha Suci.[22] Menurut M. Syuhudi Ismail, hadis Qudsi ialah
ماأخبرالله نبية بالإلهام أوبالمنام فاخبرالنبي صلى الله عليه و سلم من ذلك العنى بعبارة نفسه
Sesuatu yang dikhabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian itu dengan ungkapan kata beliau sendiri.[23]

Sedangkan Alquran merupakan wahyu Allah swt.yang disampaikan kepada Rasulullah melalui perantaraan malaikat jibril yang berisi ajaran-ajaran dan pedoman bagi umat manusia redaksinya pun disusun oleh Allah swt. tanpa dirubah oleh Rasulullah saw. Bila dicermati, ketiganya bersumber dari wahyu Allah swt.Adapun perbedaannya mengenai sandaran dan redaksinya. Hadis Nabi saw. disandarkan pada diri Rasulullah saw. Dalam hal redaksi hadis Nabi dan Hadis Qudsi disusun oleh Rasulullah saw. sedangkan Alquran disusun oleh Allah swt. Mengenai hadis Nabi dan hadis Qudsi perbedaannya dalam hal nisbahnya hadis Nabi dinisbahkan kepada Nabi saw., baik redaksi maupun maknanya, sedang hadis Qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah swt. dan redaksinya kepada Nabi. Dari sudut kuantitasnya jumlah hadis Qudsi jauh lebih sedikit daripada hadis nabawi.[24]


B.     Tinjauan Epistemologis Hadis
Tinjauan epistemologis menjawab pertanyaan mengenai bagaimana cara mendapatkan pengetahuan. Dalam pembahasan hadis ini maka untuk mengetahuinya maka harus diketahui unsur-usur dan klasifikasi hadis.
1.      Unsur Hadis
Dalam sebuah hadis terdapat 3 unsur yaitu rawi, sanad dan matan. Masing-masing unsur tersebut akan dijelaskan selanjutnya sebelumnya akan dikutip sebuah hadis dalam periwayatan yang lengkap






Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Musa, ia berkata “Telah mengabarkan kepada kami Handhalah bin Abi Sufyan dari Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Telah bersabda Rasulullah saw.:Didirikan Islam itu atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berhaji dan berpuasa dalam bulan Ramadhan.” (Riwayat Bukhari)

a.      Rawi (Periwayatan)
Rawi (jamak ruwat) adalah orang yang menyampaikan adalah menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).[25] Adapun riwayat adalah kegiatan memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain atau mendewankan/membukanya ke dalam dewan hadis. Selain itu riwayat dapat diartikan memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Pada contoh di atas, hadis tersebut ditemukan pada kitab yang disusun oleh Imam Bukhari yang bernama Shahih Bukhāri atau Jāmi’ al-Shahih.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa rawi yakni:
1.      Ibnu Umar ra.                                sebagai : Rawi pertama
2.      Ikrimah bin Khalid                        sebagai : Rawi kedua
3.      Handhalah bin Abi Sufyan           sebagai : Rawi ketiga
4.      Ubaidillah bin Musa                      sebagai : Rawi keempat
5.      Imam Bukhari                               sebagai : Rawi kelima atau Rawi terakhir[26]
b.      Sanad
Sanad secara etimologi berarti bagian tanah yang tinggi (ma irtafa’ min al-‘Ard), puncak gunung (ma irtafa’ wa ‘alamin satah al-jabal), naik (sa’ada) dan sandaran (mu’tamad).[27] Menurut terminolgi sanad adalah rangkaian para periwayat yang mengutup matan hadis dari sumber awal (Rasulullah saw.) berdasarkan hadis di atas, maka urutan-uratan sanadnya adalah sebagai berikut:
a.       Ubaidillah bin Musa                                sebagai : sanad pertama/awal sanad
b.      Handhalah bin Abi Sufyan                      sebagai : sanad kedua
c.       Ikrimah bin Khalid                                  sebagai : sanad ketiga
d.      Ibnu Umar ra.                                          sebagai : sanad keempat/akhir sanad
Menyangkut sanad, ada beberapa istilah yang perlu diketahui yaitu Musnid, Musnad, dan Isnad.Musnid adalah orang yang menerangkan hadis dan menyebutkan sanadnya.Musnaf ialah kitab hadis yang di dalamnya dikoleksikan oleh penyusunnya sesuai dengan hadis-hadis yang diriwayatkan olehsalah seorang sahabat.Adapun Isnad adalah menerangkan atau menjelaskan sanad hadis (jalan datangnya hadis) atau jalan penyandaran hadis.
c.       Matan
Matan menurut bahasa antara lain punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi, tujuan akhir atau tujuan puncak (al-mumatanah) karena matan adalah tujuan puncak sanad, pembelah (mengeluarkan hadis dari hafalan-hafalan mereka), pembalut yaitu memperkuat matan dengan cara menyebuy sanad supaya kuat keberadaannya.[28] Matan menurut istilah berarti materi berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqrirNabi saw. yang terletak setelah sanad yang terakhir. Menurut pandangan Ibnu Aal-Atsir al-Jazari sebagaimana dikutip oleh H. AbustaniIlyas bahwa setiap matan hadis tersusun atas lafal dan teks dan elemen makna (konsep).[29]
2.      Klasifikasi Hadis
Secara umum hadis dapat dibagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan perspektif yang digunakan.Pada pembahasan ini klasifikadi hadis ada dua yaitu berdasarkan kuantitas dan kualitas.
a.      Hadis Berdasrkan Kuantitas
1.      HadisMutawatir
Secara bahasa berarti mutatabi (yang datang kemudian, beriring-iringan atau beruntun).Secara terminologi, Ajjaj al-Khatib mendefinisiknnya dengan mengatakan Hadis yangdiriwayatkan oleh orang banyak sejak awal sanad sampai akhirnya, yang menurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.[30]Menurut Mahmud al-Tahnan Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.[31]Dengandemikian, sebuah hadis dikatakan hadis mutawatir jika memenuhi beberapa persyaratan, yakni:
a.       Diriwayatkan oleh banyak periwayat
b.      Adanya keyakinan bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta
c.       Adanya jumlah periwayat yang sama (keseimbangan) pada tiap-tiap jalur sanad
d.      Berdasarkan tanggapan panca indera.[32]
2.      HadisAhad
Secara bahasa kata ahad atau wahid bermakna satu, sehingga khabar ahad atau khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.Definisi lain, hadis ahad ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadismutawatir.[33] Para ulama membagi hadis ahad menjadi tiga jenis, yaitu:
a.       Hadis Masyhur (sesuatu yang sudah tersebar atau popular)
b.      Hadis ‘Aziz (yang mulia, yang jarang, yang kuat)
c.       Hadis gharib(yang sulit dipahami)[34]

b.      Hadis Berdasarkan Kualitas
Berdasarkan kualitasnya, hadis dibagi atas tiga yaitu:
1.      Hadis Shahih
Secara etimologi kata shahih berasal dari kata shahhah-yashihhu-shuhhan wa shihhatan wa shahahan yang berarti yang sehat; yang selamat dari aib; yang benar; yang sah dan yang sempurna. Dengan demikian hadis shahih menurut bahasa adalah hadis yang sah, hadis yang sehat, atau hadis yang selamat. Secara terminologi menurut Ibn al-Shalah, hadis shahih adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw. yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dan tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (illat).[35]
2.      Hadis Hasan
Hasan berasal dari kata hasuna, yahsunu yang artinya sesuatu yang diinginkan dan menjadi kecenderungan nafsu.Secara istilah Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit dhabit, tidak terdapat didalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat.[36]
3.      Hadis Dhaif
Kata dhaifbermakna  lemah juga dapat diartikan saqim (yang sakit). Menurut Imam An-Nawawi hadis dhaif  adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis hasan.[37]Dengan demikian hadis dhaif adalahhadis yang tidak  memenuhi salah satu atau semua persyaratan hadis shahih dan hadis hasan. Para ulama memperbolehkan untuk meriwayatkan hadis dhaif dengan dua syarat: a) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah, b) tidak menjelaskan hukum syara’ seperti hala dan haram, tetapi berkaitan dengan mau’idzah, targhib wa tarhib, kisah-kisah dan lain-lain.[38]
C.     Tinjauan Aksiologis Hadis
1.      Otoritas Nabi Muhammad saw.
Nabi Muahammad saw. mempunyai tugas dan peran yang sangat signifan dalam kehidupan umat manusia. Beliau menjadi rasul atau utusan Allah swt.untukmenyampaikan dan menjelaskan ajaran-ajaran-Nya yang termuat dalam Alquran kepada umat manusia.[39]Dalam Alquran sendiri, Allah swt.menjelaskan mengai peran beliau ini dalam QS. Al-Nahl/16:44
Terjemahnya:
Dan kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menenrangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.

Lebih lanjut lagi, Allah swt.jugamemberiikan otoritas kepada Rasulullah saw. melalui QS. Al-Anfal/8:20
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam QS. Al-Nisa’/4:80
Terjemahnya:
Barangsiapa yang taat kepada Rasulullah maka berarti ia taat kepada Allah
Masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan mengenai otoritas Rasulullah saw. sebagai wakil dan utusan Allah swt. di bumi.
Selain itu, otoritas Nabi saw. di luar Alquran tidak terbantahkan lagi dan mendapatkan justifikasi dari wahyu. Dalam pandangan Muhammad Mustafa Azimi, diantara otoritas Nabi saw. adalah: 1) sebagai penafsir Alquran (QS. Al-Nahl/16:44), 2) sebagai pembuat hukum atau legislator (QS. Al-Nisa’/4:65), 3) sebagai teladan masyarakatmuslim (model for muslim behavior) (QS. Al-Ahzah/33:21), 4) wajib dipatuhi oleh masyarakat (QS. al-Hasyr/59:7, QS. Al-Maidah/4:64).[40]
2.      Kedudukan dan Fungsi Hadis
Sebagai seorang muslim keberadaan hadis merupakan hal yang tidak terbantahkan lagi. Hadis menjadi salah satu sumber rujukan umat islam dalam melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupannya baik yang bersifat agamis maupun amalan-amalan sehari-hari. Namun perlu dijelaskan bahwa kedudukan atau posisi Hadis merupakan sumber hukum setelah Alquran yang wajib untuk dipedomani. Banyak ayat yang memberi pengakuan bahwa hadis atau sunnah Rasul merupakan dalil dan sumber hukum kedua setelah Alquran. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nisa’/4: 59
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari ayat di atas jelaslah bahwa Rasulullah saw. mendapatkan kepercayaan dari Allah swt. untuk menjadi teladan yang wajib ditaati dan diikuti petunjuk.[41] Dengan demikian apa yang menjadi hadis maupun sunnah beliau merupakan interpretasi danpenjelasan ayat-ayat sehingga menjadi rujukan kedua apabila ayatAlquran tidak menjelaskan dengan rinci suatu persoalan.
Adapun Fungsi dari Hadis terhadap al-Qur’an antara lain:
a.       Bayan Ta’kid yaitu menjelaskan maksud Alquran untuk mengokohkan atau menguatkan apa yang telah terkandung dalam Alquran.
b.      Bayan Tafsiryaitu menjelaskan maksud Alquran dengan maksud menafsirkan ayat-ayat yang masih bersifat global.
c.       Bayan Tabdil atau Nasakh yaitu mengganti atau menasakh suatu hukum yang terkandung dalam ayat Alquran seperti ayat tentang wasiat.
d.      Bayan Takhshish yaitu mengkhususkan ayat Alquran yang bersifat umum seperti ayat tentang warisan.
3.      Ingkar al-Sunnah
Ingkar sunnah berarti mengingkari sunnah Nabi Muhammad saw. yang menunjukkan pada ajaran atau paham yang mnucul pada masyarakat Islam dengan menolak sunnah sebagai ajaran Islam sesudah al-Qur’an atau dengan kata lain, golongan Qurani.[42] Golongan ini menganggap bahwa Alquran adalah satu-satunya sumber ajaran Islam dan tidak mempercayai hadis (sunnah) Nabi saw. sebagai sumber ajaran kedua dengan alasan bahwa tugas Rasulullah saw. hanya menyampaikan bukan memberi pengertian baru. Adapula yang berpendapat bahwa jika umat islam memerlukan sunnah, itu berarti bahwa sunnah menunjukkan indikasi akan ketidakpastian Alquran. 
Terjadinya pengingkaran sunnah ini bukan semata-mata karena pemahaman sebagaimana disebutkan, melainkan karena adanya pengaruh politik didalamnya. Setelah Rasulullah saw. terjadi beberapa kisruh menyangkut kepemimpinan umat Islam. Hal ini terjadi pasca meninggal Khalifah Usman bin Affan yang akhirnya menyebabkan umat Islam terpecah mengikuti pmasing-masing pemimpin mereka. Golongan pendukung Ali bin Abi Thalib, golongan pendukung Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan golongan Khawarij. Golongan khawarij ( yang berarti yang keluar) inilah yang secara terang-terangan mengingkari sunnah.
Ingkar Sunnah dibagi atas dua priode yaitu Ingkar Sunnah klasik yaitu pada zaman setelah pembunuhan Usman bin Affan ingkar sunnah yang dimulai oleh kaum khawarij hingga pada zaman syafi’i yang diduga dilakukan oleh kalangan teolog Mu’tazilah.[43] Ingkar sunnah yang kedua yaitu pada masa moder (akhir abad 19-20M). Menurut perkiraan M.M.Azumi, ingkar sunnah mulai terjadi di Mesir. Adapun yang menjadi pelaku ingkar sunnah pada masa itu d adalah Muhammad Abduh berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Abu Rayyah.[44] Kemudian perkembangan selanjutnya ingkar sunnah terjadi di India yang dilakukan oleh beberapa kelompok seperti kelompok Ahl al-Dzikri wa al-Qur’an, kelompok Ummah Muslimah, kelompok Thulu’ul Islam, kelompok Ta’mir Insanet dan lain-lain. Kemudian berlanjut pada masa penjajahan yang kemungkinan masih terjadi pada masa sekarang ini.



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Secara etimologis kata hadis berasal dari katahadasa, yahdusu, hudūsan wa hadāsah, yang berarti jadid (yang baru) sebagai lawan dari qadīm (yang lama) dan terdahulu. Secara terminologis hadis sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan) dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Termasuk di dalam ungkapan ihwal (ahwāluh) atau keadaannya.Menurut Al-Hafiz ibn Hajar hadis adalah segala yang diriwayatkan di dalam kitab sejarah, perihal kelahiran, tempat yang dikunjungi dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat sebagai Rasul maupun sesudahnya. Hadis seringkali disinonimkan dengan kata sunnah, khabar, dan atsar. Hadis terdiri atas 3 unsur, yaitu rawi(periwayatan), sanad (jalur periwayatan), dan Matan (substansi hadis).Hadis diklasifikasi berdasarkan kuantitas ada 2 yaitu hadis mutawatir dan ahad.Berdasarkan kualitas ada 3 yaitu shahih, hasan, dan dhaif.Kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran dan menjadi pedoman setelah Alquran.hadis berfungsi sebagai penjelasan dan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang masih bersifat umum.
B.     Implikasi
Adapun implikasi karya tulis ialah sebagai sumber referensi yang digunakan oleh pemakalah dan pembaca untuk lebih mengetahui mengenai hadis ditinjau dari segala aspek. Makalah ini akan mengantarkan pembaca untuk dapat mengidentifikasi dan mengenali hadis-hadis termasuk yang bentuk lain yang mirip dengan pengertian hadis. Diharapkan pula dengan adanya makalah ini, pembaca akan paham mengenai konsep hadis ditinjau dari relasinya dengan Alquran agar nantinya memudahkan pembaca untuk mempelajari ilmu lain yang tidak terlepas dari hadis sebagai sumber pedoman dan hukum bagi umat Islam.





DAFTAR PUSTAKA

Hafid, Erwin,Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf Qardhawi, Makassar: Alauddin Press, 2011.
Ilyas, Abustani dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, Makassar: Alauddin Press, 2011.
Siddiqi, Muhammad Zubayr, Hadith and Sunnah, Selangor, Malaysia: Islamic Book Trust, 2008.
Ash-Shiddiqiey, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1954.
Azami, M.M., Hadis Nabawi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Maidin, Muhammad Sabir, Ingkar Sunnah/Hadis I, Makassar: Alauddin Press, 2012.




[1]Erwin Hafid, Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf Qardhawi (Cet.I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h.15
[2]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 2-3
[3]M. Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h. 1
[4]Muhammad Zubayr Siddiqi, Hadith and Sunnah (Selangor, Malaysia: Islamic Book Trust, 2008), h.3
[5]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 3
[6][6]Erwin Hafid, Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf Qardhawi (Cet.I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h.16
[7]M. Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h. 3
[8]M. Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.11
[9]M. Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.11
[10]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 4  
[11]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 4
[12]M. Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h. 11
[13]Erwin Hafid, Hadis Nabi menurut Perspektif Muhammad Al-Gazali dan Yusuf Qardhawi (Cet.I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h.21

[14]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.9
[15]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.10
[16]Hasbi Ash-Shiddiqiey, Sejarah dan Pengantar Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), h. 36
[17]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 6
[18]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 7-8
[19]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 8
[20]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.9
[21]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 4
[22]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 9
[23]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.23
[24]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 10
[25]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.17
[26]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.17
[27]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 13
[28]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 15-16
[29]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 16
[30]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 17
[31]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 18
[32]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 19-20
[33]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 23
[34]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.146
[35]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 26
[36]M.Syuhudi Islamil, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Penerbit Angkasa, 1987), h.146
[37]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h. 33-34
[38]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h.34
[39]M.M. Azami, Hadis Nabawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 27.
[40]Abustani Ilyas dan La Ode Islami Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi (Cet. I, Makassar: Alauddin Press, 2011), h.11
[41]Muhammad Sabir Maidin, Ingkar Sunnah/Hadis I (Makassar: Alauddin Press, 2012), h. 109-110
[42]Muhammad Sabir Maidin, Ingkar Sunnah/Hadis I (Makassar: Alauddin Press, 2012), h. 197
[43]Muhammad Sabir Maidin, Ingkar Sunnah/Hadis I (Makassar: Alauddin Press, 2012), h. 227 
[44]Muhammad Sabir Maidin, Ingkar Sunnah/Hadis I (Makassar: Alauddin Press, 2012), h. 240  

Post a Comment